Sabtu, 30 November 2013

Florence Young -- Bunga di Pulau Queensland

Florence Young -- Bunga di Pulau Queensland



Florence Young

Sekitar abad 18, kepulauan Pasifik dikenal sebagai surganya bumi pada saat itu. Banyak penjelajah dan pedagang yang singgah di kepulauan tersebut selalu terpana dengan keindahan dari kepulauan ini. Termasuk juga para penulis antara lain: William Melville, Robert Louis Stevenson, dan James Michener mengungkapkan dengan piawai melalui novel-novel tulisan mereka.


Meskipun demikian, ada banyak jiwa yang tinggal di kepulauan Pasifik tersebut sedang sekarat karena belum mengenal Kristus. Banyak lembaga misi yang rindu untuk melayani di kepulauan ini dan banyak sumber daya manusia dibutuhkan untuk mendukung penginjilan yang dilakukan. Namun para misionaris yang diutus terkadang hanya sebentar melakukan pelayanannya. Selain karena faktor geografis yang agak sulit untuk menjangkau kepulauan-kepulauan tersebut pada masa itu, faktor terbesar yang membuat penduduk menolak kehadiran para misionaris adalah karena sikap dari para pedagang dan pelaut yang singgah di wilayah ini. Mereka datang untuk mengeksploitasi para penduduk -- termasuk dengan maraknya perdagangan budak pada masa itu -- dan sumber daya alam yang ada.


Walau ada banyak kendala, banyak misionaris yang terus berjuang untuk memenangkan penduduk kepulauan ini termasuk mereka yang telah dijadikan budak di tempat-tempat lain. Salah satunya adalah Florence Young yang kesaksiannya bisa Anda simak dalam Tokoh Misi berikut ini. Bila dibandingkan dengan kepulauan lain, maka pada abad 19 (sekitar tahun 1983 -- saat buku ini ditulis), kepulauan Pasifik mempunyai prosentasi kekristenan yang tinggi.


Ironisnya, bisnis penculikan orang-orang negro atau Polinesia untuk dijadikan budak yang telah banyak menimbulkan kerusakan di kepulauan Pasific Selatan ternyata menjadi pintu gerbang utama bagi masuknya penginjilan di kepulauan Solomon. Sementara beberapa misionaris seperti John Coleridge Patteson dengan sengit menentang lalulintas tersembunyi dari bisnis "manusia" ini, namun ada beberapa misionaris lain termasuk Florence Young yang tampaknya "menerima" hal tersebut dan malah bekerja dalam sistem yang mendukung perbudakan itu.


Florence Young adalah seorang warga Sydney, Australia. Dia adalah orang yang pertama kali mengekspresikan keprihatinannya tentang kesejahteraan rohani para pekerja perkebunan di South Seas. Saudara- saudara Florence adalah pemilik Fairymead, perkebunan tebu yang besar di Queensland, dan kunjungannya ke perkebunan ini telah mengubah pandangan hidup Florence. Meskipun keterlibatan para saudaranya dengan para pedagang budak tidaklah jelas (beberapa pemilik perkebunan biasanya membuat kontrak kerja dengan badan penyalur pekerja resmi), namun yang pasti, Florence bersedia bekerja dalam sistem ini untuk mengenalkan Injil kepada para budak.


Sebagai anggota jemaat dari Plymouth Brethren, Florence Young telah mempelajari Alkitab sejak dia masih kanak-kanak dan sangat mendukung pelayanan pengajaran yang dilakukannya sejak tahun 1882. Kelas kecil pertamanya yang terdiri dari 10 budak merupakan suatu awal yang kurang menggembirakan. Namun jumlah ini terus bertambah dan tak lama kemudian, dia mempunyai 80 murid di kelas yang diadakan setiap hari Minggu. Separo dari jumlah itu datang secara rutin dalam kelompok pemahaman Alkitab yang diadakan setiap sore. Respon tersebut jauh melebihi dari yang dibayangkan Florence.


Anda bisa membayangkan kondisi para budak saat itu. Menebas batang tebu pada jam 12 siang atau selama beberapa jam setiap hari di bawah terik matahari merupakan pekerjaan yang 'mematikan'. Banyak budak meninggal karena bekerja dalam kondisi dan tekanan seperti itu termasuk Jimmie, budak pertama yang bertobat di perkebunan itu. Meskipun demikian, mereka berani mengorbankan jam-jam istiharat yang berharga untuk mendengarkan Injil.


Kesuksesan dari pelayanan Florence Young di Fairymead ini memberinya semangat untuk melakukan hal yang sama di perkebunan-perkebunan lainnya di Queensland, dimana ada 10000 budak tinggal dalam kondisi yang serupa, bahkan ada yang lebih buruk lagi. Pemberian dana kasih dari George Mueller (juga menjadi jemaat Plymouth Brethren) merupakan stimulan yang dibutuhkan Florence untuk mendirikan Queensland Kanaka Mission (Kanaka merupakan istilah yang digunakan untuk "para pekerja yang diimpor"). Florence juga mendapat dukungan dari seorang guru misionaris dan menulis surat secara rutin kepada para pemilik perkebunan yang ada di wilayahnya. Pada akhir abad 19, melalui pelayanan yang dilakukan 19 misionaris, ribuan orang telah mengikuti kursus Alkitab yang diadakan Florence dan ada yang berkeinginan untuk memberitakan Injil saat mereka kembali ke negara asal mereka.


Pada tahun 1890, Florence merasa Allah memanggilnya untuk terlibat dalam pelayanan misi ke China. Oleh karena itu, dia ikut melayani bersama China Inland Mission. Namun dia kembali lagi ke South Seas pada tahun 1900 untuk mengarahkan secara langsung pelayanan misi yang telah dirintisnya karena pelayanan ini telah mengarah ke fase yang berbeda. Hukum telah melarang perdagangan budak berkulit hitam dan sistem kerja paksa juga telah dilarang. Pada tahun 1906, banyak budak telah dipulangkan ke kampung halamannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa pelayanan Florence berhenti sampai di sini. Pelayanan Follow-up diperlukan untuk melanjutkan pelayanan yang telah dirintis tersebut. Florence dan beberapa misionaris berlayar menuju Solomon Islands dimana mereka melayani para petobat baru dan mendirikan gereja.


Pada tahun 1907, Queensland Kanaka Mission mengganti namanya menjadi South Sea Evangelical Mission. Florence dibantu oleh ketiga keponakannya -- Northcote, Norman, dan Katherine Deck sangat aktif dalam melakukan pelayanan ini. Tahun-tahun berlalu, 10 orang lebih sahabat dekatnya menjadi misionaris dan menyusul Florence ke Solomon Islands.


Diterjemahkan dan diringkas dari:


























Judul buku:From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Penulis:Ruth A. Tucker
Penerbit:Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan
Halaman:223 -- 224

Jumat, 29 November 2013

Elizabeth "Betty" Greene

Elizabeth "Betty" Greene


Elizabeth Betty Greene

 




Meskipun Betty Greene tidak menganggap dirinya sebagai pendiri MAF (Mission Aviation Fellowship), namun pada kenyataannya dialah yang bekerja paling banyak pada tahun-tahun pertama pengajuan konsep organisasi misi penerbangan (mission aviation) sebagai sebuah pelayanan misi khusus. Lebih jauh lagi, dia adalah staf pekerja full- time pertama dan pilot pertama yang terbang pada saat organisasi itu baru terbentuk. Meskipun dia seorang wanita, pengalaman dan keahliannya sebagai pilot tidak diragukan lagi. Betty bekerja di Air Force selama bulan-bulan pertama Perang Dunia II, menerbangkan misi- misi radar dan terakhir dia ditugaskan untuk mengembangkan beberapa proyek termasuk menerbangkan pesawat-pesawat pengebom B-17. Namun pelayanan di dunia militer bukanlah pilihan karir Betty. Oleh karena itu sebelum PD II berakhir dia telah meninggalkan dunia militer dan memulai pelayanan seumur hidupnya sebagai seorang pilot misionaris.


 Betty tertarik di dunia penerbangan sejak dia masih kecil. Pada usianya yang ke-16, dia mengikuti pelajaran penerbangan. Saat masih kuliah di Universitas Washington, Betty mendaftarkan diri untuk mengikuti program pelatihan pilot pemerintah sipil. Program ini mempersiapkan dirinya untuk mencapai mimpinya menjadi seorang pilot misionaris. Dia bergabung dalam WASP (Women's Air Force Service Pilots), motivasi utamanya adalah mencari pengalaman yang nantinya akan membantu Betty dalam melakukan pelayanan misi. Pada waktu luangnya, Betty menyempatkan diri untuk menulis sebuah artikel yang diterbitkan oleh Inter-Varsity HIS Magazine. Artikel tersebut menjelaskan tentang pentingnya misi penerbangan dan sekaligus rencana-rencananya untuk mewujudkan impiannya itu. Tulisan Betty tersebut mendapat perhatian dari Jim Truxton, seorang pilot angkatan laut yang sedang mendiskusikan masalah misi penerbangan dengan dua orang temannya. Jim menghubungi Betty dan memintanya untuk bergabung dengan mendirikan organisasi misi penerbangan.

Tahun 1945, sesaat setelah MAF didirikan, permintaan penting datang dari Wycliffe Bible Translators untuk menolong pelayanan mereka di Mexico. Setelah beberapa bulan melayani di Mexico, Betty diminta oleh Cameron Townsend (pendiri Wycliffe), untuk menolong pelayanannya di Peru. Tugas Betty dalam pelayanan di Peru adalah menerbangkan para misionaris dan persediaan ke daerah pedalaman. Setiap kali terbang dia selalu melewati puncak-puncak pegunungan Andes, hal itu menjadikan dirinya sebagai pilot wanita pertama yang melakukan penerbangan tersebut.

Betty "mengabdikan dirinya" kepada para misionaris di Ethiopia, Sudan, Uganda, Kenya, dan Kongo. Pada tahun 1960, Betty menjalani tugas penerbangannya yang terakhir yaitu ke Irian Jaya. Tugas tersebut tidak hanya berbahaya tetapi juga sulit karena perjalanan hutannya yang berliku-liku dan mengerikan. Untuk menerima bantuan dari misi penerbangan, setiap pos misi harus membangun sendiri tempat tinggal landas pesawat. Sebelum pendaratan dilakukan, seorang pilot yang berpengalaman harus terlebih dulu terbang melintasi wilayah tersebut untuk memastikan keadaannya. Karena sebagian besar tugas Betty adalah di udara, dia segera menyadari bahwa dia tidak dapat mengimbangi teman sekerjanya, Leona St. John, atau 8 orang suku Moni yang membawakan barang-barangnya saat menyusuri hutan di wilayah Irian Jaya. Leona dan orang suku Moni tersebut telah terbiasa dengan hujan tropis yang terjadi setiap hari, melewati jembatan dari tumbuhan yang gemerisik bunyinya, dan juga saat melalui lahan berlumpur yang sangat licin. Betty mengatakan bahwa dia tidak tahu seberapa beratnya perjalanan tersebut. Namun kelelahan fisik yang dialaminya segera tergantikan dengan ketakutan saat secara tidak sengaja rombongan Betty itu terjebak di tengah- tengah peperangan antar suku -- mereka menyaksikan pemandangan kematian dan pembunuhan yang mengerikan.

Tapi semua ketakutan dan kelelahan yang dialami dalam menempuh perjalanan itu akhirnya terobati saat Betty, Leona dan para pembawa barangnya tiba di desa tujuan mereka. Sambutan yang ramah diterimanya dari penduduk setempat dan sepasang misionaris yang telah bertugas di sana. Terlebih dari itu Betty juga menemukan tempat untuk pesawatnya mendarat. Perayaan yang sebenarnya baru terjadi keesokan harinya saat seorang pekerja MAF mendarat dengan membawa semua persediaan yang dibutuhkan. Pelayanan Betty mendapatkan banyak penghargaan. Namun pengalaman yang tak terlupakan sepanjang karirnya adalah saat dia melayani di Irian Jaya selama hampir dua tahun.

Saat Betty diwawancara pada tahun 1967 tentang apakah dia akan "mendorong seorang wanita untuk melakukan pelayanan seperti yang dia lakukan," Betty menjawab: "MAF tidak setuju, dan juga saya ... Kami memiliki tiga alasan mengapa kami tidak menerima wanita untuk pelayanan ini: 1) Sebagian besar wanita tidak terlatih dalam hal mekanis. 2) Kebanyakan tugas pelayanan dalam misi penerbangan merupakan tugas yang berat. Misalnya ada kargo besar yang harus diangkut dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh seorang wanita. 3) Fleksibilitas; misalnya, jika ada sebuah tempat yang mengharuskan seorang pilot tinggal di sana selama beberapa hari/minggu, anda tidak dapat meminta seorang wanita untuk melakukannya."

Tanpa menghiraukan kebijaksanaan MAF masa lampau tentang deskriminasi gender tersebut, sampai saat ini masih banyak wanita yang terjun dalam pelayanan misi penerbangan. Sekarang setelah lebih dari satu dekade munculnya kesadaran feminisme, kebijaksanaan MAF mengalami perubahan. Para wanita dapat diterima sebagai pilot. Baru- baru ini, Gina Jordon yang memiliki 15.000 jam terbang sebagai pilot telah meninggalkan pekerjaannya di Kanada dan bergabung dengan MAF sebagai seorang pilot untuk pelayanan di Kenya.

Diterjemahkan dan diringkas dari:


























Judul buku:From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Penulis:Ruth A. Tucker
Penerbit:Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan
Halaman:395 -- 398

Rabu, 27 November 2013

Tuhan “Benteng” Hidupku

Tuhan “Benteng” Hidupku


“Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?” (Mazmur 27:1)


Kata “benteng” dalam ayat di atas diterjemahkan dari kata Ibrani ma‘oz (dibentuk dari huruf-huruf Ibrani: Mem-Qames-Ayin-Holem Wow-Zayin). Kata “benteng” bukanlah satu-satunya kata yang dipadankan dengan kata ma‘oz tersebut. Kata-kata seperti “tempat perlindungan” (Mazmur 31:3; Nahum 3:11), “pelindung” (Mazmur 60:9; 108:9; Yesaya 30:3 ), “perlindungan” (Amsal 10:29), dan “tempat pengungsian” (Yesaya 25:4) juga dipakai sebagai padanan dari kata ma‘oz.


Berdasarkan persamaan terjemahan itu, maka “Tuhan benteng hidupku” dapat berarti “Tuhan tempat perlindungan hidupku”, “Tuhan pelindung hidupku”, “Tuhan perlindungan hidupku”, dan “Tuhan tempat pengungsian hidupku”.


Benteng, tempat perlindungan, ataupun tempat pengungsian, merupakan tempat-tempat yang memberikan keamanan secara fisik bagi setiap orang dalam situasi perang. Benteng dan tempat perlindungan adalah tempat yang aman bagi tentara yang sedang berperang. Sedangkan tempat pengungsian adalah tempat yang aman bagi masyarakat sipil yang negaranya sedang berperang.


Tempat fisik seperti itu digambarkan oleh orang Ibrani sebagai tempat yang aman. Bagaimana halnya bila tempat perlindungannya adalah Tuhan, bukankah Dia akan memberikan perlindungan yang mutlak?


Kata-kata Ibrani lain yang seakar-induk dengan kata ma‘oz adalah ‘oz yang dipadankan dengan kata “kuat” dan “kuasa”. Orang yang mengetahui senjata, dialah yang kuat. Karena kuat, dia pula yang akan berkuasa. Kata “benteng” dan padanan lain dari kata ma‘oz seperti “tempat perlindungan”, “pelindung”, “perlindungan”, dan “tempat pengungsian”, memiliki makna yang berhubungan erat dengan kata “kuat” dan “kuasa”. Dengan demikian “Tuhan benteng hidupku” berarti juga “Tuhan kekuatan hidupku” dan “Tuhan asal kuasa hidupku.”

Bila “Tuhan kekuatan hidupku” dan “Tuhan asal kuasa hidupku”, bukankah kita tidak perlu risau, khawatir, takut, dan gemetar akan hidup kita?

Kajian Ibrani Kuno

Apa makna kata ma‘oz dilihat dari tulisan-gambar Ibrani kuno? Kata ma‘oz berasal dari akar-induk kata ‘z (Ayin-Zayin). Huruf Ayin pada awalnya adalah sebuah gambar mata, yang berarti pengetahuan, sebagaimana fungsi mata untuk melihat segala sesuatu yang ada di sekitarnya dan menjadi sumber pengetahuan. Sedangkan huruf Zayin adalah sebuah gambar alat pemotong (senjata). Gabungan dua gambar tersebut berarti “mengetahui sebuah senjata.”

Dalam peperangan, pengetahuan tentang senjata adalah hal yang penting. Seorang tentara yang dapat memilih dan menggunakan sebuah senjata secara tepat akan menolongnya berhasil dalam pertempuran. Sebab ia dapat memakainya sebagai alat untuk menyerang dan melindungi diri dari musuh.

Jika kita menjadikan Tuhan sebagai senjata dalam hidup kita, bukankah kita akan terlindung dari serangan musuh dan kuat untuk menyerangnya?

Perlindungan Tuhan

Perlindungan Tuhan dalam Mazmur 27 digambarkan dengan dua ungkapan: “Tuhan adalah bentengku” (ayat 1) dan “Ia melindungi aku dalam pondokNya” (ayat 5). Ungkapan itu untuk menjelaskan bahwa Tuhan adalah sumber pertolongan (bandingkan ayat 9).

Makna “Tuhan adalah bentengku” (sudah dipaparkan di atas) sejajar dengan “Ia melindungi aku dalam pondokNya.” Dalam budaya orang Ibrani kuno, tenda atau pun rumah di samping sebagai pelindung bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya, juga pelindung bagi orang asing yang datang dari jauh. Budaya seperti itu dipelihara hingga waktu-waktu yang kemudian (misalnya: kisah orang Lewi di Gibea Benyamin dalam Hakim-hakim 19).

Dengan demikian sungguh beralasan ketika Daud menyatakan bahwa dirinya tidak harus takut dan gemetar terhadap musuh, sebab Tuhan adalah pelindungnya, kekuatannya, dan senjatanya.

Implikasi

Seorang rekan melayani di sebuah gereja di Kalimantan. Ia mengunjungi sebuah keluarga dan tuan rumah menghidangkan segelas minuman untuknya. Pada saat ia mengambil gelas untuk meminumnya, tiba-tiba gelas itu pecah. Tuan rumah mengambilkan segelas minuman lagi dan ketika rekan tersebut mengambil untuk meminumnya, gelas itu pecah lagi. Segelas minuman ketiga dihidangkan lagi, dan gelas itu tidak pecah saat ia mengambil untuk meminumnya.

Beberapa hari kemudian kepala keluarga tersebut mendatangi rekan saya dan menanyakan tentang jimat yang ia miliki. Sebab, pikirnya, rekan saya tersebut seorang yang sakti. Rupanya, keluarga tersebut menghidangkan segelas minuman yang sudah dibubuhi racun dan memanterainya. Minuman di gelas ketigalah yang tidak dibubuhi racun dan diucapkan mantera.  Rekan saya itu menjawab bahwa ia memiliki Tuhan Yesus Kristus yang berkuasa untuk melindunginya.

Serangan musuh berasal dari mana saja, kapan saja, dan dalam bentuk apa saja. Apakah saya dan Anda telah menjadikan Tuhan Yesus benteng, pelindung, kekuatan, tempat pengungsian, sumber kuasa dan senjata hidup kita?

(Artikel ini ditulis oleh Hery Setyo Adi, yang menggunakan rujukan dari berbagai sumber).

Selasa, 26 November 2013

MENDAMBAKAN

“Mendambakan” Firman Tuhan


Kata “mendambakan” diterjemahkan dari kata Ibrani y’b (disusun dari huruf-huruf Ibrani Yod-Alef-Bet; dapat dibaca yaab), yang diturunkan dari akar-kata induk ’b (Alef-Bet). Dalam piktograf Ibrani kuno, huruf Alef adalah lambang kekuatan, sedangkan huruf Bet adalah lambang tenda. Gabungan dua gambar tersebut berarti “kekuatan rumah.”


Tiang tenda atau rumah menyangga tenda atau rumah itu agar tidak roboh, sebagaimana peran bapak menyangga keluarga atau rumah tangga. Jadi makna “mendambakan” sangat penting seperti tiang penyangga yang menjadi sumber “kekuatan rumah” itu, atau kekuatan seorang bapak yang menjadi penopang utama dalam keluarga agar tetap berdiri. Seorang yang “mendambakan” sesuatu pasti ia mengumpulkan segenap tenaga atau kekuatan untuk mendapatkannya.


Mendambakan Firman Tuhan (Mazmur 119:129-136)


Mazmur 119:131: “Mulutku kungangakan dan megap-megap, sebab aku mendambakan perintah-perintah-Mu.”


“Mulutku kungangakan dan megap-megap”, itulah ungkapan dramatis Pemazmur sebagai ekspresi kesungguhannya dalam mendambakan perintah Tuhan. Dalam bagian ayat 129-135, beberapa istilah dipakai untuk menunjuk maksud yang sama, Taurat Tuhan (bandingkan ayat 136), yaitu: peringatan-peringatan (ayat 129), firman-firman (ayat 130), perintah-perintah (ayat 131), janji (ayat 133), titah-titah (ayat 134), dan ketetapan-ketetapan (ayat 135).

Mengapa ia sampai pada tingkat pendambaan seperti itu?  Dalam ayat 129 Pemazmur menyatakan bahwa peringatan-peringatan Tuhan itu ajaib. Dalam ayat berikutnya (ayat 130) tertulis, bahwa bila firman Tuhan itu tersingkap, ia memberi terang dan pengertian kepada orang-orang bodoh. Keajaiban, terang, dan pengertian itulah yang membuat Pemazmur mendambakan perintah-perintah Tuhan itu, sehingga “jiwanku memegangnya” (ayat 129).

Bagi Pemazmur, pemahaman tentang firman Tuhan itu ternyata tidak hanya pengakuan bahwa firman itu ajaib. Rasa empatinyapun terbangun tatkala ia melihat orang tidak berpegang kepada Taurat Tuhan itu. Ia menangis. Tulis Pemazmur: “Air mataku berlinang seperti aliran air, karena orang tidak berpegang pada Taurat-Mu” (ayat 136).

Dengan demikian ada alasan mendasar bagi sang Pemazmur “mendambakan” firman Tuhan, bahwa firman Tuhan itu ajaib, memberi terang, dan pengertian, serta membawanya rasa empati kepada orang lain. Mendambakan firman menjadi kekuatan jiwa sang Pemazmur, karenanya jiwanya memegangnya.

Implementasi

Seorang nenek yang berusia sekitar 70 tahun di kampung saya di Salatiga, Jawa Tengah, tidak dapat membaca tulisan satu katapun, karena ia buta huruf. Namun karena kerinduannya untuk dapat  mengerti firman Tuhan, ia belajar membaca sendiri pada usia yang tua renta. Saya melihat sendiri usahanya itu. Ia mengerahkan tenaga dan pikirannya untuk belajar membaca. Setiap hari, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar membaca Alkitab. Pada mulanya, ia mengeja tiap huruf dalam setiap kata di Alkitab. Akhirnya, setelah menghabiskan waktu beberapa tahun, ia lancar membacanya. Sekarang, ia tidak dapat membaca Alkitabnya lagi karena pandangannya kabur.

Nenek itu memiliki dambaan yang kuat, sehingga usahanya itu dilakukan dengan sekuat tenaga. Dambaan itulah yang menjadi penopang kekuatannya. Saya rasa, bukan sekedar karena ia memiliki dambaan, tapi ia memiliki dambaan yang tepat, yaitu firman Tuhan. Karena dambaan itulah ia mengumpulkan segenap daya dan upaya, sehingga ia mampu mencapainya, yaitu dapat membaca firman Tuhan sendiri.

Sudahkan saya dan Anda memiliki dambaan yang tepat, yaitu firman Tuhan? Jika kita tidak mendambakannya, maka kita tidak akan menikmati firman Tuhan itu. Mendambakan firman Tuhan berarti memiliki kekuatan penopang untuk senantiasa memegangnya.

Sudahkah saya dan Anda memiliki alasan yang tepat untuk mendambakan firman Tuhan itu? Apakah kita sudah mengalami keajaibannya, terangnya, dan pengertian yang disingkapkannya?


Kalau kita sudah menikmati semua itu, apakah kita juga akan memiliki empati kepada orang lain yang tidak memegang firman Tuhan?

D.L. Moody

D.L. Moody


D.L. Moody




Dwight L. Moody dilahirkan di Northfield, Massachusetts, pada tanggal 5 February 1837 dari pasangan Edwin Moody dan Betsey Holtom. Ayahnya bekerja sebagai seorang tukang batu. Ayahnya meninggal saat Moody masih kecil dan dalam masa kesusahan mereka. Sejak itu ibunyalah yang bekerja keras membanting tulang untuk membesarkan anak-anaknya menjadi orang-orang dewasa yang baik.


Masa kecil Moody dilalui sebagaimana anak-anak kecil lain di tempatnya. Ia bersekolah, dan pada musim panas ia bekerja untuk menggembalakan lembu tetangganya dengan upah satu sen sehari. Moody merupakan anak yang periang dan humoris, tapi juga terkadang nakal dan menjadi pengacau di kelasnya. Sampai suatu saat Moody berhadapan dengan gurunya yang menegur perbuatan Moody dengan kasih dan teguran itu membuat Moody menyadari kesalahannya.


Moody kecil tidak terlalu berminat terhadap masalah agama, tetapi ibunya Betsey selalu tekun mengajar anak-anaknya untuk berdoa dan menepati janji. Dari masa kecilnya tidak ada tanda atau peristiwa yang menunjukkan bahwa Moody akan dapat berbuat demikian mengagumkan di kemudian hari.


Saat beranjak dewasa ia pindah ke Boston untuk bekerja di perusahaan sepatu pamannya sebagai pelayan toko. Ia memiliki cita-cita untuk menjadi pengusaha yang sukses dan mulai belajar seluk beluk perusahaan. Di kota inilah ia mulai mengalami pertumbuhan rohani ketika berjemaat di Gereja Mount Vernon. Pada tanggal 20 September 1856 Moody pindah ke Chicago untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan untuk mengikuti bimbingan Allah. Pekerjaannya tidak jauh dari pekerjaan sebelumnya yakni di toko sepatu. Ia suka sekali bersosialisasi dengan orang-orang baru terutama orang-orang yang merantau.


Ia pun memulai pelayanannya dengan membagi-bagikan brosur dan selebaran serta mengajak orang-orang untuk menghadiri kebaktian gereja. Ia juga membuka Sekolah Minggu dengan tujuan untuk menyelamatkan anak-anak di bagian kota yang buruk. Banyak anak nakal yang tadinya menentangnya diajaknya bergabung dan mereka menuruti ajakannya dan bertobat. Pekerjaannya pun juga semakin membaik.


Moody mulai berkonsentrasi penuh dalam melayani Tuhan, di tahun 1860 ia mengambil keputusan untuk meninggalkan bisnisnya. Ia mulai mengadakan kebaktian-kebaktian minggu malam untuk anak-anak dan bergabung dengan Young Men's Christian Association (YMCA) di Chicago. Pelayanannya pun semakin berkembang dan untuk menampung kebaktian orang-orang yang dilayaninya ia mendirikan Illinois Street Church.


Pada masa perang saudara meletus, Moody juga terjun memberitakan Injil ke kemah-kemah prajurit dan mengadakan kebaktian-kebaktian. Sampai- sampai ada resimen yang disebut resimen YMCA karena terdiri dari orang-orang Kristen yang taat.


Pelayanannya ke Inggris dimulai pada tahun 1867 dan ia mengunjungi beberapa tempat di sana serta Irlandia. Di tempat inilah Moody bertemu dengan seorang pendeta muda bernama Harry Moorehouse yang meminta Moody agar diijinkan untuk berkhotbah di gerejanya di Chicago. Awalnya Moody menilai bahwa pemuda tersebut belum cakap dalam berkhotbah tapi pada akhirnya ia mengijinkan Harry untuk berkhotbah di gerejanya. Ternyata tidak seperti yang dipikirkannya Harry mampu membawakan khotbahnya dengan sangat mengesankan selama tujuh hari berturut-turut dari pasal yang sama Yohanes 3:16 dengan pewahyuan yang selalu baru. Hal ini mengubah cara Moody berkhotbah dan dia semakin rajin menyelidiki Alkitab.


Dalam pelayanannya banyak orang yang membantu Moody, termasuk Ira D. Sankey seorang yang memiliki talenta dalam menyanyi, yang tadinya sudah bekerja sebagai pegawai negeri di bidang pajak. Kemudian ia diajak Moody untuk full time sebagai pemimpin pujian dalam pelayanannya. Sankey meminta waktu untuk berpikir dan akhirnya menerima tawaran tersebut. Bersama-sama mereka menjadi pasangan yang luar biasa dalam mengabarkan Injil.


Tanggal 8 Oktober 1871 terjadi kebakaran besar di Chicago. Illinois Street Church dan Farewell Hall tempat Moody melayani selama bertahun- tahun turut terbakar. Namun Moody tidak putus asa. Ia segera mencari dukungan dari berbagai pihak untuk menolong para korban kebakaran dan gerejanya. Bantuan pun segera mengalir dari berbagai pihak, usahanya tidak sia-sia karena 2,5 bulan kemudian didirikan bangunan sementara yang letaknya tak jauh dari bangunan terdahulu dan dinamakan North Side Tabernacle. Semakin banyak orang datang ke kebaktian yang diadakannya di tempat tersebut.


Tahun 1873-1875, D.L. Moody kembali mengunjungi Inggris, dan mengunjungi kota-kota yang ada di sana. Di setiap tempat yang ia kunjungi beratus-ratus orang bertobat dan diselamatkan. Banyak surat kabar merekam peristiwa kebaktian yang dipimpin oleh D.L. Moody. Ia juga selalu melibatkan hamba-hamba Tuhan lokal dari berbagai aliran untuk membantu pelayanannya.


Khotbahnya yang terakhir adalah di Kansas, Missouri, di gedung Convention Hall yang berkapasitas 15.000 orang. Ia berkhotbah dari Lukas 14:16-24 tentang perumpamaan orang-orang yang berdalih. Setelah itu Moody jatuh sakit dan tidak bisa melanjutkan pelayanannya. Kemudian ia pulang kembali ke kotanya Northfield untuk beristirahat. Di kotanya inilah Moody menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan membawa kedamaian surgawi pada tanggal 22 Desember 1899. Dia menorehkan kenangan manis bagi keluarganya dan setiap orang yang pernah dilayaninya.
























Sumber:
Judul Buku:Riwayat Hidup D.L. Moody
Penulis:AP. Fitt
Penerbit:Christian Literature Crusade

Senin, 25 November 2013

Don Richardson

Don Richardson dan Suku Sawi Di Irian Jaya


Don Richardson


 



Salah satu dari ahli teori misi praktis yang telah menarik banyak minat di dunia Barat adalah Don Richardson. Bukunya "Peace Child" (Anak Perdamaian) dan "Lords of the Earth" (Para Penguasa Bumi) yang ditujukan bagi orang-orang Kristen awam ini menyajikan tentang kerumitan dalam mengkomunikasikan Injil secara lintas budaya kepada orang-orang non-Kristen, khususnya suku- suku yang jauh dari peradaban barat. Mungkin lebih dari misionaris lainnya di Amerika, dia bisa menarik baik orang awam maupun para ahli misiologi.


Prinsipnya tentang "Redemptive Analogy" (Analogi Penebusan) -- penerapan tentang prinsip keselamatan ke dalam budaya lokal -- telah menyebabkan antusiasme dan debat dalam siklus misiologi semenjak dia menjelaskan prinsip tersebut di sebuah seminar di Dallas Theological Seminary tahun 1973. Sejak saat itu pengaruhnya telah berkembang melalui buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya, konferensi yang diadakannya, pembuatan film "Peace Child", dan asosiasinya dengan U.S. Center for World Mission di Pasadena.


Dalam sebuah kebaktian di Prairie Bible Institute tahun 1955, Don Richardson, seorang pemuda yang saat itu masih berusia 20 tahun, menjawab panggilan untuk terlibat dalam pelayanan misi ke luar negeri. Panggilan yang dijawabnya ini bukanlah panggilan yang masih samar-samar -- untuk pergi ke "suatu tempat" yang belum jelas -- tetapi merupakan panggilan yang penuh kepastian untuk melayani suku- suku pengayauan (pemburu kepala manusia) di Netherlands New Guinea (sekarang Irian Jaya), dimana kekejaman merupakan cara hidup suku-suku tersebut. Banyak orang menghadiri kebaktian di Prairie Bible Institute tsb. dan mendengar khotbah dari Ebenezer Vine yang berusia 71 tahun dari "Regions Beyond Missionary Union" (RBMU). Prairie Bible Institute telah cukup terbiasa melihat sebagian besar lulusannya terpanggil untuk melayani di luar negeri. Di antara lulusan yang memiliki keputusan yang sama dengan Don pada saat itu adalah Carol Soderstrom, seorang gadis cantik dari Cincinnati, Ohio, yang lima tahun kemudian menjadi istri Don.


Tahun 1962, sesudah menyelesaikan kursus di Summer Institute of Linguistics dan menunggu kelahiran anak pertama mereka, Don dan Carol berlayar menuju New Guinea, dimana mereka bergabung dengan pelayanan misionaris RBMU sampai mereka ditugaskan untuk melayani suku yang ditunjuk -- suku Sawi, salah satu suku yang memiliki budaya yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan. Sangat berbahaya! Tidak hanya penduduknya yang menakutkan, wilayah yang didiami suku Sawi juga merupakan tempat yang menakutkan sebagai tempat tinggal bagi istri dan anaknya yang masih berusia tujuh bulan. Namun Don tidak pernah meragukan panggilannya.


Sudah cukup beban bagi Don dan Carol untuk memikirkan ketakutan akan tempat dan penyakit berbahaya yang ada di sini. Namun mereka akan bertambah takut jika mereka tidak segera menguasai bahasa suku Sawi. Hal itu merupakan pergumulan terberat bagi mereka. Meskipun merasa "otaknya serasa mengecil" dalam proses pembelajaran bahasa itu, Don mengatur jadwalnya untuk belajar bahasa Sawi selama 8 - 10 jam sehari supaya akhirnya ia dapat menjadi komunikator yang fasih dalam bahasa Sawi.


Saat Don mempelajari bahasa Sawi dan semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari adanya rintangan-rintangan yang dihadapinya untuk mengenalkan kekristenan kepada mereka. Jurang yang memisahkan antara kekristenannya yang alkitabiah dengan keganasan suku Sawi tampaknya terlalu sulit untuk dijembatani. Bagaimana mereka dapat menceritakan tentang Juruselamat yang maha kasih, dan yang bersedia mati bagi mereka? Penghalang-penghalang komunikasi tampaknya susah diatasi sampai Don menemukan "Redemptive Analogy" (Analogi Penebusan)-- konsep dari suku Sawi mengenai "Peace Child" (Anak Perdamaian).


Dalam budaya mereka, suku Sawi telah menemukan cara untuk membuktikan ketulusan niat dan membangun perdamaian. Sebelumnya, suku Sawi selalu mencurigai segala pernyataan yang dilakukan untuk menjalin persahabatan, kecuali untuk satu pernyataan: Jika seorang pria bersedia menyerahkan anak laki-lakinya kepada para musuhnya, maka pria itu dapat dipercaya. Analogi Anak Perdamaian inilah yang dipakai Don untuk menunjukkan kepada suku Sawi bahwa Allah adalah seorang Bapa yang bersedia mengorbankan putra-Nya sendiri.


Anak Perdamaian ini sendiri tidak dapat menyelesaikan semua rintangan komunikasi untuk memahami Kekristenan. Oleh karena itu Don dan Carol mencari analogi-analogi lain yang dapat dipakai untuk bersaksi. Juga sebagai seorang perawat, Carol menolong hampir sebanyak 2.500 pasien setiap bulannya. Melalui kesabaran mereka berdua, lambat laun suku Sawi mulai mengenal Kekristenan. Don, dengan bantuan Carol, mulai menerjemahkan Perjanjian Baru dan mengajar suku Sawi untuk membaca.


Tahun 1972, setelah satu dekade melayani suku Sawi, banyak terjadi perubahan. Rumah pertemuan yang biasa dipakai untuk beribadah diperluas. Don menyarankan untuk membuat "Sawidome" -- sebuah rumah yang dapat menampung sedikitnya 1000 orang. Rumah ini menjadi "rumah perdamaian bagi mereka yang dulu saling bermusuhan."


Setelah menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru, Don Richardson dan keluarganya meninggalkan suku Sawi dan menyerahkannya di bawah pengawasan para penatua gereja mereka dan John serta Esther Mills, pasangan misionaris lainnya yang melayani suku Sawi.


Diterjemahkan dan diringkas dari sumber:




























Judul Buku:From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History of Christian Missions
Judul Bab:New Methods and Strategy: Reaching Tomorrow's World
Penulis:Ruth A. Tucker
Penerbit:Academie Books, 1983
Halaman:481 - 485

Minggu, 24 November 2013

David Livingstone

David Livingstone -- Mahasiswa Kedokteran







 

David Livingstone dilahirkan tahun 1813 di tengah-tengah situasi gencarnya Revolusi Industri di Inggris. Rumahnya terdiri atas satu ruangan berhadapan dengan pabrik pemintalan kapas -- pabrik tempat di mana ia bekerja empat belas jam sehari sejak usia sepuluh tahun. Meskipun demikian, hal itu tidak mengendurkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti sekolah malam. Membagi waktu antara bekerja dengan belajar tidaklah mudah. Namun David bisa mengatasi kesulitan-kesulitan selama mengenyam pendidikan. Sambil bekerja, ia membaca buku-buku yang ditaruhnya di atas pemintal benang tempatnya bekerja. Ia mengalami pertobatannya di usia belasan tahun. Namun, karena keluarga tidak menganggap pendidikannya sebagai prioritas, maka dia baru memulai kuliahnya di Anderson`s College tahun 1836 di Glasgow. Dia belajar tentang misiologi dan pelayanan medis.


 

Setelah membaca suatu seruan mengenai dibutuhkannya utusan Injil dalam bidang kedokteran di Cina, yang ditulis oleh utusan Injil berkebangsaan Jerman, Karl Gutzlaff, Livingstone memantapkan pilihannya untuk dilatih menjadi dokter untuk pelayanan misi. Pendidikan medis dan teologi di Glasgow membuatnya diterima oleh London Missionary Society (LMS) pada tahun 1838 untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut. Akan tetapi, karena pecahnya Perang Candu yang pertama, pelayanan ke Cina ternyata menjadi tidak memungkinkan untuk dilakukan. Walau demikian, berkat kedekatan hubungannya dengan Robert Moffat (1795 - 1883), yaitu utusan Injil LSM terkenal di Afrika Selatan (dan kelak menjadi ayah mertua Livingstone), pemuda Skotlandia inipun terdorong untuk menjadi relawan yang diutus melayani di bagian Selatan benua Afrika.


Livingstone memulai kariernya sebagai utusan Injil di pangkalan Kuruman, tempat Moffat bertugas, pada tahun 1841. Begitu mulai, dia dengan segera bergerak lebih jauh ke pedalaman untuk mencari orang- orang yang belum terjangkau Injil. Dari tahun 1843 sampai tahun 1853 ia bekerja di antara suku Tswana, tetapi hanya satu jiwa yang dapat dimenangkannya, yaitu Seehele, kepala suku Bakwera -- sebagai hasil jerih payahnya. Sasaran Livingstone semakin terpusat pada wilayah yang jauh lebih ke Utara, di kedua sisi Sungai Zambesi. Di daerah ini penduduknya lebih padat dan berada di luar jangkauan para petani Boer yang berasal dari Selatan; lebih dari itu semua, Sungai Zambesi menawarkan kemungkinan terbukanya jalur untuk perdagangan yang `sah`, yang dipercayai oleh Livingstone sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat menghalau perdagangan budak dari daerah itu.


Awalnya, ia memutuskan untuk berusaha menembus ke arah Barat laut, ke pantai Atlantik, dengan harapan akan menemukan jalur lain menuju Afrika tengah yang tidak melintasi daerah orang Boer yang memusuhinya. Setelah menempuh suatu perjalanan dengan keberanian yang sangat menakjubkan, Livingstone tiba di pantai di Luanda pada bulan Mei 1854. Karena kecewa dengan jalur pantai barat ini, ia tidak hanya maju kembali mengikuti jejaknya sendiri, tetapi ia bahkan menyusuri tepi Sungai Zambesi sampai ke muaranya di Samudera Hindia. Ia tiba di sana pada bulan Mei 1856 setelah menempuh perjalanan sejauh 2500 mil.


 

PAHLAWAN NASIONAL
Livingstone kembali ke Inggris pada bulan Desember 1856 dan mendapatkan dirinya disambut meriah sebagai pahlawan nasional. Prestasi geografisnya merupakan sesuatu yang belum pernah dicapai sebelumnya, dan hal ini terlaksana karena suatu alasan yang sesuai dengan semangat penginjilan di Inggris -- yaitu dihapusnya perdagangan budak yang dibenci itu dari benua Afrika. Namun demikian, sambutan publik ini menyelubungi suatu perbedaan pandangan yang serius di antara Livingstone dan LMS, yang telah timbul jauh sebelum Livingstone kembali. Livingstone membicarakan rencana kembali ke Afrika untuk "mencoba merintis jalan untuk perdagangan dan kekristenan". Karena menyadari bahwa LMS tidak akan membantunya untuk terlibat dalam penjelajahan dan perdagangan, Livingstone membiarkan berlanjutnya negosiasi dengan Pemerintah Inggris mengenai penunjukannya sebagai konsul Inggris. Pada bulan Oktober 1857 ia memberitahukan kepada LMS bahwa perjalanan kembalinya ke Afrika tidak lagi memerlukan bantuan organisasi tersebut, dan pada bulan Maret tahun berikutnya ekspedisi Zambesi berangkat berlayar di bawah pimpinan Livingstone.


Ekspedisi ini ternyata merupakan bencana. Dalam perjalanan lintas- Afrika ini, Livingstone telah terburu-buru membuat kesimpulan yang keliru, ia mengira bahwa Sungai Zambesi dapat dilayari seluruhnya. Ia juga terlalu memandang ringan riam-riam di Cabora Bassa. Ketidakmungkinan riam-riam ini untuk dilayari kapal-kapal uap telah menghancurkan gagasan Livingstone untuk menjadikan Sungai Zambesi sebagai jalur utama penginjilan dan perdagangan ke pusat benua Afrika. Sebagai gantinya, ia berpaling ke Sungai Shire, yang mengalir di sebelah utara dari Sungai Zambesi menuju Danau Malawi, yang ternyata berada di ujung sungai tersebut. Tanah di ujung selatan danau ini tampaknya berpenduduk cukup padat dan dapat dimanfaatkan untuk budi daya kapas; kehadiran perdagangan Kristen di sana mungkin dapat mematahkan sebagian besar perdagangan budak di Afrika Timur pada sumbernya. Sebelum gagasan tersebut terlaksana, pemerintah Inggris memanggil pulang rombongan ekspedisi ini pada tahun 1863. Demikianlah salah satu episode yang paling menyedihkan dalam hidup Livingstone, yang ditandai dengan perselisihan terus- menerus antara Livingstone dengan rekan-rekan seperjalanannya, dan mencapai puncaknya dengan kematian istrinya, Mary, pada bulan April 1863.


Sambutan terhadap Livingstone di Inggris ketika ia pulang untuk kedua kalinya pada tahun 1864-1865 jauh lebih dingin daripada tahun 1856-1858. Pemerintah Inggris telah kehilangan antusiasmenya yang mula-mula terhadap rencana-rencananya. Ia kembali ke Afrika untuk terakhir kalinya sebagai konsul yang tidak dibayar, dengan menyandang wewenang yang sekedar nama saja. Tahun-tahun terakhirnya dilalui dengan menjelajahi wilayah yang belum pernah dilewati antara Danau Malawi dan Tanganyika. Selama bertahun-tahun, sangat sedikit kabar mengenai keberadaan dan keselamatannya yang dapat diketahui dunia luar.


Berbagai rombongan ekspedisi diutus untuk mencari Livingstone. Rombongan yang dipimpin oleh wartawan ternama H.M. Stanley mungkin yang paling banyak dipublikasikan dan paling berhasil. Pertemuan Stanley dengan Livingstone pada bulan November 1871, diikuti dengan berita kematiannya yang menyedihkan di Chitambo pada 1 Mei 1874, semua ini mengokohkan anggapan bahwa sekali lagi Livingstone merupakan legenda, lambang kepahlawanan dari semangat yang mendorong penginjilan sebagai inti dari kekristenan pada zaman Victoria.


 

MENEMBUS MITOS
Beberapa gagasan Livingstone kedengarannya usang dan eksentrik. Harapannya untuk menghapuskan perdagangan budak dengan cara memperkenalkan perdagangan resmi bahan-bahan mentah dari Afrika kepada para industriawan Eropa, mencerminkan pengaruh intelektual masa mudanya yang khususnya didapat dari gagasan ahli filsafat ekonomi berkebangsaan Skotlandia, Adam Smith. Usaha-usaha Livingstone untuk menggabungkan pekerjaan penginjilan di Afrika tengah dengan perdagangan Eropa tidak membuahkan hasil. Setelah kematiannya, keyakinan terhadap rumusan utusan Injil dari awal zaman Victoria ini mengenai "perdagangan dan kekristenan" sedikit demi sedikit memudar.


Livingstone berkeyakinan bahwa Allah bekerja melalui setiap jenis aktivitas manusia -- dalam penemuan-penemuan wilayah geografis atau hubungan dagang -- sama halnya dalam ruang lingkup kekristenan yang kuat untuk membawa pergerakan sejarah menuju suatu "penyempurnaan yang gemilang" saat dimana pemerintahan Kristus akan mencapai puncaknya. Pandangannya tersebut merupakan wawasan kristiani yang khas pada zaman Victoria dalam hal optimisme rasionalnya. Meskipun begitu, wawasannya yang luas dalam bidang penginjilan juga selalu mengingatkan jemaat gereja pada masa-masa yang kurang meyakinkan, bahwa pertobatan dalam Kristus memang membawa dampak terhadap kehidupan ekonomi dan budaya suatu masyarakat.


 

EKSPANSI DALAM PENGUTUSAN INJIL
Satu hal yang lebih relevan dengan masa kini ialah tuntutan Livingstone yang tidak berubah, yaitu bahwa semboyan dalam strategi penginjilan seharusnya bukanlah konsolidasi (penggabungan), melainkan ekspansi (perluasan). Ia mengritik LMS yang memusatkan sumber-sumber pengutusan Injilnya pada gereja-gereja yang sudah mapan di wilayah koloni di Semenanjung Afrika Selatan, sementara sejumlah besar orang-orang yang tinggal di bagian lebih utara diabaikan. Ia mengingatkan bahwa politik konsolidasi yang kuat menyebabkan timbulnya gereja-gereja yang didominasi oleh para utusan Injil: "pengawasan yang terus-menerus dan pengendalian yang tidak berkesudahan akan melemahkan para malaikat." Laju pertumbuhan gereja-gereja Afrika, debat Livingstone, berbanding terbalik dengan jumlah utusan Injil yang ditempatkan di antara mereka.


Dalam beberapa hal, sebenarnya, Livingstone telah merintis teori pertumbuhan gereja modern. Ia membenarkan strateginya untuk terus mendesak maju melewati suku Tswana dan menginjili suku-suku di sekitarnya sebagai "satu-satunya cara yang memberi harapan yang rasional, sehingga bila orang-orang tersebut mau berpaling kepada Allah, mereka akan datang secara berkelompok."


Menyadari bahwa tingkat penerimaan terhadap kekristenan di antara sebagian besar orang Afrika pada saat itu sangatlah rendah, ia mendorong agar usaha-usaha penginjilan dipusatkan bukan demi memperoleh pertobatan-pertobatan dari penduduk yang terpencil dalam suatu wilayah terbatas yang telah ditaburi benih Injil dengan baik, tetapi melalui penyebaran yang seluas-luasnya mengenai kebenaran dan prinsip-prinsip kristiani sehingga tercipta suatu kondisi yang memungkinkan seluruh suku untuk berpaling kepada Kristus.


Menurut David Livingstone, tidak akan mungkin memperoleh hasil tuaian penginjilan yang besar jumlahnya tanpa didahului usaha yang sungguh-sungguh untuk menabur pada lahan yang seluas-luasnya. Dan dengan pandangan itulah, seluruh usaha penginjilannya tersebut dilakukan. Gereja-gereja Protestan di wilayah Afrika sub-Sahara yang sebagian besar didirikan setelah masa-masa penjelajahan Livingstone, sekarang merupakan gereja-gereja yang terkuat di dunia. Livingstone meyakini dirinya telah dipimpin oleh Allah untuk "membuka" Afrika bagi penginjilan. Lebih dari seabad setelah kematiannya, terbukti ia memang benar.


 

Bahan diedit dari sumber:




























Judul Majalah:Sahabat Gembala, Aug 1995
Judul Artikel:David Livingstone
Penulis:Brian Stanley
Penerbit:Yayasan Kalam Hidup -- Gereja Kemah Injil Indonesia
Halaman:24 - 28

Sabtu, 23 November 2013

TUHAN “Memanggil”

Tuhan “Memanggil”


Kata “memanggil” di antaranya merupakan padanan dari kata Ibrani  qara’ (qof-qames-resh-qames-alef). Kata tersebut diturunkan dari akar induk kata “q-r” (qof-resh), yang di dalam tulisan Ibrani kuno masing-masing huruf membawa ide tertentu. Huruf “qof” adalah sebuah gambar matahari di ufuk barat (atau timur?) dan berarti juga pengumpulan cahaya. Sedangkan huruf “resh” adalah gambar kepala seorang laki-laki. Gabungan dua gambar tersebut berarti “mengumpulkan orang-orang”.


Dalam kebudayaan Ibrani seseorang mengumpulkan orang-orang  dan barang dengan cara: (1) perencanaan (2) kebetulan, dan (3) pembelian. Biasanya, orang-orang dipanggil untuk suatu pertemuan yang telah direncanakan sebelumnya, namun tidak jarang juga terjadi secara kebetulan. Sedangkan pengumpulan barang kekayaan dilakukan seseorang dengan cara membeli, termasuk budak sebagai barang kekayaan keluarga.

Dalam terang Firman Tuhan, Tuhan “memanggil” (qara ’ = ”mengumpulkan orang-orang”) orang-orang tertentu  berlaku dua cara, yaitu dengan cara direncanakan dan cara pembelian.


Pertama, Tuhan “mengumpulkan orang-orang” bukannya karena  kebetulan. Dia merencanakan orang-orang yang dipanggilNya dan menetapkan tujuanNya. Sebelum Paulus  menjadi hamba Tuhan, ia adalah penganiaya jemaat. Namun, sebenarnya ia telah dipilih Tuhan sejak dalam kandungan dan dipanggil oleh karena kasih karuniaNya ( Galatia 1:15). Paulus dipanggil untuk tujuan Tuhan, yaitu memberitakan namaNya kepada bangsa-bangsa lain, raja-raja dan orang-orang Israel (Kisah Para Rasul 9:15).


Kedua, Tuhan “mengumpulkan orang-orang” dengan cara pembelian. Orang yang dikumpulkan dengan cara pembelian adalah budak atau hamba. Hal tersebut biasa berlaku dalam kebuyaan timur tengah kuno.  Budak dibeli dari seseorang atau sekelompok orang. Mereka diperjualbelikan di  antara pedagang, sebagaimana barang (Kejadian 37:28). Bahkan, kepemilikan budak dalam suatu keluarga menjadi ukuran kekayaan (Kejadian 24:35). Budak yang dibeli akan menjadi milik tuannya.


Jemaat Korintus, baik sebelumnya hamba atau orang bebas, telah dipanggil Tuhan dalam pelayananNya. Mereka  telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Mereka milik Tuhan. Karena itu, mereka adalah hamba Tuhan, bukan hamba manusia (bandingkan 1 Korintus 7:22-23).


Implikasi

Pertama, Tuhan telah mengumpulkan kita, orang-orang yang telah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, dengan perencanaan. Kita adalah orang-orang yang dikumpulkanNya sesuai dengan rencanaNya untuk tujuan yang ditetapkanNya. Apakah rencana dan tujuan hidup kita sudah sesuai dengan rencana dan tujuan Tuhan?


Kedua,  Tuhan telah mengumpulkan kita dengan cara dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Kita ini milik Tuhan. Oleh karena itu kita tidak memiliki hak lagi atas tubuh, pikiran, kreatifitas, kemampuan sosial, daya kerja, dan lain-lain. Segala hal yang kita miliki, bahkan segala keberadaan kita, menjadi milik Tuhan dan menjadi kekayaan Tuhan. Apakah segala sesuatu yang melekat pada diri kita masih kita kuasai menjadi hal milik kita, atau telah menjadi hak milik dan kekayaan Tuhan? Lihat, betapa berharganya kita ini, sebab kita menjadi kekayaan Tuhan!


(Artikel ini ditulis oleh Hery Setyo Adi, yang menggunakan rujukan dari berbagai sumber)

Jumat, 22 November 2013

Lima Roti Dua Ikan: Kamu Harus Memberi Mereka Makan!

Lima roti dua ikan: Kamu harus memberi mereka makan !


Matius 14:13-21


             Muzijat yang luar biasa yang tidak pernah bosan untuk kita baca dan kita ceritakan kepada orang lain.  Hanya dengan menggunakan lima roti dan dua ikan saja Tuhan Yesus mampu memberi makan lima ribu orang laki-laki dan itu pun belum terhitung perempuan dan anak-anak.  Pada bagian ini sebenaranya sarat akan pernyataan kasih Allah yang luar biasa kepada setiap orang yang setia mengikutiNya.

 Di Tempat Pengasingan

Ada banyak orang yang berkerumun mengikuti dia, padahal saat itu Yesus sedang ingin mengasingkan diri setelah mendengar Yohanes Pembabtis dibunuh,  bukan berarti Yesus kabur karena merasa takut.  Tetapi pada bagian ini menunjukan belum waktunya Yesus untuk mengalami masa terakhir, akan tetapi dalam masa pengasingan dirinya dia tidak serta merta langsung menjauh dari banyak orang yang sedang mengikut dia justu hati Yesus tersentak melihat orang banyak saat dia datang dan menginjakan kakinya di kota yang dihrapkan menjadi tempat pengasinganya.  Kasih Itu menjadi semakin dinyatakan kepada banyak orang ketika Yesus juga menyembukan mereka yang sakit.

Kamu harus memberi mereka makan !

            Pada saat hari mulai malam murid-murid nampak mulai gelisah karena daerah yang di kunjungi adalah daerah yang sepi.  Mereka memohon kepada Yesus untuk menyuruh mereka pergi, dan segera mencari makan di sekitar tempat tersebut.  Yesus membuat suatu pernyataan yang mengagetkan para murid dengan berkata “Kamu harus memberi mereka makan!”.  Tidak ada orang yang paham dengan maksud ini, saat membaca bagian ini kita seperti diingantkan kembali kepada bagian Awal dari kitab ini pada saat Tuhan Yesus dicobai di padang gurun oleh iblis dan di minta untuk mengubah batu menjadi roti Yesus menjawab “Manusia hidup Bukan dari Roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah”.   Ini menjelaskan bahwa saat itu banyak orang sedang ingin mendapatkan Firman Tuhan, banyak orang sedang ingin mendapatkan kebenaran sampai-sampai mereka melupakan waktu makan mereka secara jasmani.  Tentu hati Tuhan sangat tergerak dengan hal itu dan pada saat itu juga sebenarnya Tuhan Yesus secara tidak langsung memberikan mandat juga kepada para Muridnya untuk memberi mereka makan.  Bukan dengan roti karena Tuhan tahu mereka hanya punya lima roti dan bukan juga dengan ikan karena Yesus juga tahu yang ada pada mereka cuman dua ikan,  tetapi dengan Kebenaran Firman Tuhan.  Murid-murid jelas telah lebih lama hidup bersama dengan Yesus jika di bandingkan dengan sekumpulan orang banyak tersebut, murid-murid jelas lebih paham tentang pengajaran-pengajaran Yesus karena mereka hidup bersama dalam keseharian Yesus.  akan tetapi pemahaman murid-murid belum sampai pada tahapan tersebut sehingga makan secara jasmani menjadi tanggung jawab murid-muridnya, tetapi

Implikasi

Jadi sekarang bagaiman dengan keterlibatan kita saat ini, akankah kita justru menghitung berapa yang harus di keluarkan (lima roti dan dua ikan #Mat , dua ratus dinar #Markus 6:37 #Yoh 6:7), atau benar2 berdoa untuk bisa memberi makan kepada yang lain karena kita sudah cukup kenyang dengan makanan kita.  Tuhan hanya inginkan kita untuk bisa memberi mereka makan, karena "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.” #Mat 9:37.  Maukah kita orang percaya dipakai Tuhan untuk memberi mereka makan???

Rabu, 20 November 2013

KERAS KEPALA

Keras Kepala


                 Ada orang tua yang tidak ada henti-hentinya selalu menghukum anaknya saat melihat anaknya melakukan kesahalan.   Seorang anak akan terus terkenan hukuman karena ketidak tahuan apa yang dibuat benar atau salah.  Orang tua memiliki tugas untuk mengingatkan dan mengarahkan, orang tua tidak segan-segan menghukum dengan tindakan tegas untuk mendisiplinkan anak.

Anak yang keras kepala akan terus berbuat sesuatu yang salah meskipun seberapa tegas disiplin yang diberikan tidak akan berdampak banyak dalam dirinya,  karena yang dibuat adalah benar menurut anak itu.  Seorang anak memiliki kecenderungan belajar dari apa yang dilihat dari apa yang dia alami. Sehingga tindakan yang di lakukan baik itu benar atau pun salah pasti akan diperbuat oleh seorang anak karena mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah..

Bangsa yang keras kepala

Keras kepala yang sangat dialami oleh bangsa Israel pada masa Yeremia,  dimana semua system sudah menjadi rusak dan bahkan sudah tidak terkendali lagi.  Kehidupan bangsa Israel sudah mulai kembali bergeser menyembah illah lain dan kehidupan social mereka dalam kebebasan menjadi kebabalasan, Ketidakadilan ( # Yer 05:01 ) , kemunafikan dalam agama ( # Yer 05:02 ) , incorrigibleness ( # Yer 05:03 ) , korupsi dan penyelewengan ( # Yer 5:4-5 ) , penyembahan berhala dan perzinahan ( # Yer 5:7-8 ) , Tidak setia kepada Allah ( Yer 05:11 # ) , dan berlaku kurang ajar dia ( # Yer 5:12-13 ).  Tokoh-tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan dan penegur yang utama sudah tidak bisa lagi diharapkan karena mereka sudah “mematahkan kuk” aturan Tuhan tidak ditegakan dengan tegas dan sudah memutuskan “tali pengikat”, meskipun mereka mengetahui cara Tuhan dan hukum Allah mereka, namun mereka terlalu kaku untuk membungkuk untuk pemerintahannya: ini menunjukan kerusakan  total. Mereka mengetahui kehendak Guru mereka , tetapi memutuskan untuk memiliki kemauan mereka sendiri , berjalan di jalan sesuka hati mereka dan di hadapan mata mereka . mereka berpikir diri mereka sudah terlalu baik untuk dikendalikan, terlalu besar untuk dikoreksi , bahkan oleh Tuhan ALLAH semua sendiri.

Implikasi

Tuhan hanya mau kita bisa tetap rendah hati karena memang kita rendah karena kita memang berbeda dari yang menciptakan kita dan tetap bisa menjadi anak-anaknya yang Memuliakan Allah dan menikmati hadirat Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita.  Tuhan ingin kita tetap mengenakan “Kuk” dan tetap mengikatkan tali pengikat Bukan kerena Allah ingin memberi beban kepada kita tetapi hanya karena DIA mengasihi kita  agar kita tahu apa yang harus kita pebuat dan harus bagaimana bersikap.  Allah memberi kebebasan kepada kita memberikan kemerdekaan kepada kita agar kita bebas untuk bisa menyembah dia dan agar kita bisa merdeka untuk Memuliakan dia.

 "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" (Ibrani 4:7)

Suara Tuhan

Suara Tuhan


Kata “suara” berpadanan dengan kata Ibrani qol (dibentuk dari huruf-huruf konsonan dan vokal Ibrani: Qof-Holem waw-Lamed). Makna awal kata tersebut berarti “memanggil dengan suara yang lantang atau keras.” Di kemudian hari, beragam makna dikenakan untuk kata tersebut seperti: suara, bunyi, guruh, pengumuman, kabar, dan sebagainya. Apa makna kata qol ditinjau dari piktograf Ibrani kuno? Huruf Ibrani modern merupakan perkembangan dari piktograf Ibrani kuno. Piktograf adalah tulisan dalam bentuk gambar yang melambangkan suatu benda, tindakan, dan konsep abstrak, yang pada masa itu benar-benar dikenali masyarakatnya. Kata qol berasal dari akar-kata induk QL (Qof-Lamed). Huruf Qof merupakan gambar matahari di ufuk barat atau timur dan berarti “kumpulan sinar.” Sedangkan huruf Lamed adalah gambar tongkat gembala. Gabungan dua gambar tersebut berarti “berkumpul ke tongkat.” Untuk mengerti makna di atas, kita harus mengetahui budaya dan cara hidup orang Ibrani kuno. Pekerjaan mereka antara lain sebagai penggembala-peternak. Ketika seorang gembala memanggil domba-dombanya, mereka akan datang kepadanya dengan cepat. Tongkat gembala adalah alat kekuasaannya. Dengan tongkatnya itu, sang gembala mengumpulkan binatang gembalaannya dan selanjutnya mengarahkan, mendisiplin, dan melindungi mereka. Dengan demikian frase “suara Tuhan” berarti “berkumpul ke tongkat Tuhan”, yang mana Tuhan diakui sebagai Sang Gembala.

Yehuda Menolak Suara Tuhan 

Sebab itu, katakanlah kepada mereka: Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara TUHAN, Allah mereka, dan yang tidak mau menerima penghajaran! Ketulusan mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka" (Yeremia 7:28). Nabi Yeremia memulai pelayanan pada zaman Raja Yosia dan terus berlanjut ke zaman Raja Yoahaz, Yoyakim, Yoyakin, dan Zadekia. Bahkan, sesudah Yehuda jatuh ke dalam penawanan Babel, Yeremia masih melayani orang-orang yang tidak turut dalam pembuangan. Raja Yosia menjadi raja yang berkenan dalam pandangan Tuhan, sedangkan keempat raja sesudahnya tidak mau mendengar suara Tuhan. Ketaatan bangsa Yehuda kepada Tuhan sangat tergantung kepada ketaatan raja mereka kepada Tuhan. Karena itu tatkala keempat raja sesudah Yosia tidak mau tunduk dan mendengar suara Tuhan, kelakuan rakyat Yehuda pun seperti itu. Dalam ayat 28 di atas dengan jelas tertulis bahwa bangsa Yehuda tidak mau mendengar suara Tuhan. Itu berarti, sesuai pengertian dari tinjauan tulisan Ibrani kuno, bahwa mereka tidak mau “berkumpul ke tongkat” Tuhan, gembala mereka. Itu berarti pula, bahwa mereka tercerai berai dan jauh dari Tuhan. Resiko logis dari penolakan mereka tersebut dinyatakan dengan jelas dalam ayat 29, bahwa “TUHAN telah menolak dan membuang bangsa yang kena murka-Nya.” Kata “menolak” dan “membuang” menggambarkan keadaan bangsa itu yang dijauhkan dari Tuhan, yang menolak “berkumpul ke tongkat” Tuhan. Resiko lain dari penolakan Yehuda adalah mereka akan menjadi mayat-mayat, seperti yang digambarkan dalam ayat 31-33. Penggambaran ini cocok dengan salah satu fungsi tongkat di tangan gembala, yakni sebagai pelindung binatang gembalaan terhadap serbuan binatang buas. Jika mereka menolak “berkumpul ke tongkat” Tuhan, maka mereka menolak perlindungan Tuhan. Dewa-dewa yang mereka sembah (ayat 30) tidak memiliki kuasa sedikitpun untuk melindungi mereka.

Implikasi

Tuhan mau kita “berkumpul ke tongkat” Nya, supaya kita terlindung olehNya. Di antara kenalan saya adalah seorang pendeta pria. Sesuai tugasnya, ia memiliki banyak kesempatan untuk memberitakan suara Tuhan. Ia sudah beristri dan mempunyai beberapa anak yang terlibat dalam pelayanan. Secara diam-diam, ia menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita, anggota jemaatnya. Pada akhirnya hubungan itu diketahui banyak orang. Majelis gereja memperingatkannya, agar menjauhi wanita itu. Tapi, rupanya, hamba Tuhan ini tidak memutuskan hubungannya. Memang, setiap hari Minggu, bahkan hari-hari yang lain, hamba Tuhan itu memberitakan suara Tuhan. Khotbah tentang kekudusan hidup pasti pernah disampaikannya. Tapi, ia sendiri tidak mau mendengar suara Tuhan itu. Akhirnya, ia jatuh dalam dosa seks. Ia tidak terlindung oleh Tuhan, sebab ia tidak mau “berkumpul ke tongkat” Nya. Tuhan mau kita “berkumpul ke tongkat” Nya, supaya kita terlindung olehNya, yaitu dengan mendengar suaraNya.

(Artikel ini ditulis oleh Hery Setyo Adi, yang menggunakan rujukan dari berbagai sumber)